AGAMA TRADISIONAL SUKU BUGIS
AGAMA TRADISIONAL SUKU BUGIS
( Asal Usul, Mite; Adat Kebudayaan
dan Kepercayaan, Ritus dan Hubungan Interaksi )
Guna untuk memenuhi tugas mata
kuliah Agama-agama Lokal
disusun oleh :
ICANG : 11150321000067
Dosen
Pembimbing : Sitti Nadroh, M. Ag
Kelas :
4/B Perbandingan Agama
FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan Rahmat, Hidayah,
Taufiq dan Inayahnya sehingga Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan makalah
ini yang membahas tentang “ Agama Tradisional Suku Bugis “, diajukan
untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Agama-agama Lokal. Makalah ini
dapat digunakan sebagai wacana untuk menambah pengetahuan dan juga bisa menjadi
acuan dalam menambah ilmu tentang berbagai hal mengenai kepercayaan tradisional
Suku Bugis.
Kemudian, saya ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yang telah
membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan secara
sederhana. Dan tidak lupa pula kepada teman-teman yang telah rela membantu
mendiskusikan, guna dalam menyelesaikan makalah ini sebagaimana mestinya.
Dan menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dari segala bentuk,
maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah
selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Amiin...
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tangerang, 21 Maret 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I : PENDAHULUAN 3
A.
Latar Belakang
B.
Rumusan Masalah
C.
Tujuan penulisan
BAB II: PEMBAHASAN 4
A.
Asal Usul Suku Bugis
B.
Mite; Adat Kebudayaan dan Kepercayaan Lokal
Suku Bugis
C.
Ritus Dalam Suku Bugis
D.
Interaksi Kepercayaan Suku Bugis Dengan Agama
Lain
BAB III :
PENUTUP 16
A.
Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA 17
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
(Gambar: Peta Daerah Bugis, Sumber Website “Peta
Sulawesi Selatan”)
Suku bugis adalah
salah satu suku yang beromisili di Sulawesi Selatan. Ciri utama dari kelompok
etnik ini adalah bahasa dan adat istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau
yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan
pedagang dikerajaan Gowa dan telah terkulturasi, sehingga dapat dikategorikan
sebagai suku Bugis.
Sulawesi Selatan
adalah sebuah Provinsi diindonesia, yang terletak di 0012’-80 Lintang
Selatan dan 116048’-122036’ Bujur Timur. Luas Wilayahnya
62.482,54 km2. Provinsi ini berbatasan dengan Sulawesi Tengah dan
Sulawesi Barat di Utara, Teluk Bone dan Sulawesi Tenggara di Timur, Selat
Makassar di Barat, dan Laut Flores di Selatan.
Di Indonesia, Suku
Bugis di kenal persebarannya luas karena perantauannya. Di Indonesia, Suku
Bugis terbanyak mendiami di Pulau Sulawesi. Indonesia dikenal sebagai negara
yang mempunyai bahasa terbanyak, dimana terdiri atas 700 suku atau bahasa.
Namun dalam
pembahasan kali ini, pemakalah hanya mengacu pada Suku Bugis, oleh karena nya
untuk mengetahui lebih jelasnya, pemakalah dapat merumuskan hal apa saja yang
terdapat dalam Suku Bugis.
B.
Rumusan Masalah
Adapun rumusan
masalah yang dapat saya sampaikan pada pembahasan kali ini, yakni meliputi:
1.
Bagaimana Asal Usul
Suku Bugis?
2.
Bagaimana Mite, Adat
Kebudayaan dan Kepercayaan Lokal Suku Bugis?
3.
Bagaimana Ritus
Dalam Suku Bugis?
4.
Bagaimana Interaksi
Kepercayaan Suku Bugis Dengan Agama-Agama lain?
C. Tujuan Makalah
1.
Untuk Mengetahui
Bagaimana Asal Usul Suku Bugis.
2.
Untuk Mengetahui
Bagaimana Mite, Adat Kebudayaan dan Kepercayaan Lokal Suku Bugis?
3.
Untuk Mengetahui
Bagaimana Ritus Dalam Suku Bugis?
4.
Untuk Mengetahui
Bagaimana Interaksi Kepercayaan Suku Bugis Dengan Agama-Agama lain?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Suku Bugis
Bugis adalah suku
yang tergolong kedalam suku-suku Deutero Melayu, atau Melayu Muda. Masuk ke
Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia, tepatnya Yunan.
Kata “Bugis” berasal
dari kata “To Ugi”, yang berarti orang Bugis, penamaan Ugi merujuk pada Raja
pertama kerajaan China yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu
La Sattumpugi, ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka
merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai “To Ugi” atau
orang-orang atau pengikut La Sattumpugi.[1]
La Sattumpugi adalah
ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari
Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan
beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat sastra terbesar di dunia dengan
jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opumanna Ware atau orang
yang dipertua di Ware, adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La
Galigo dalam tradisi Masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam
tradisi masyarakat Luwu, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di
Sulawesi, seperti Buton.[2]
Dalam perkembangan
selanjutnya, komunitas ini mulai berkembang dan membentuk beberapa kerajaan
lain dan kemudian membuat aksara, bahasa serta pemerintahan mereka sendiri.
Beberapa kerajaan klasik yang terkenal adalah Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa
dan Sawwito atau Pinrang, dan Sidrap. Meskipun tersebar dan membentuk
etnikBugis, tetapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan
Makassar dan Mandar, hingga sampai saat ini orang Bugis tersebar dalam
Kabupaten, seperti Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Sinjai, Pinrang, dan
Barru.[3]
(Gambar: Silsilah
Keturunan Bugis, Sumber Website “Silsilah Keturunan Bugis)
Masyarakat Bugis
tersebar di beberapa daratan rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan
dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan, mata pencaharian lain
masyarakat Bugis adalah pedagang, masyarakat bugis juga mengisi birokrasi
pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Pada abad 16, 17, 18, 19
masyarakat Bugis pernah menyebabkan konflik dengan Makassar, hingga menyebabkan
tidak tenangnya daerah Bugis Sulawesi Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya
orang-orang Bugis yang bermigrasi terutama di daerah pesisir Nusantara bahkan
sampai ke Malaysia, Filiphina, Thailand hingga sekitar Asia. Konflik antara
Bugis dan Makassar menyebabkan Suku Bugis melakukan perantauan, selai itu pada
akhirnya perantauan Suku Bugis dijadikan sebagai salah satu Budaya dalam mendorong
keinginan akan kemerdekaan karena kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat
diraih melalui kemerdekaan. [4]
Suku Bugis adalah
salah satu suku dengan pola penyebaran yang sangat tinggi dan masuk dalam
kelompok Suku Melayu Deutero. Hampir dalam seluruh wilayah Indonesia dapat
ditemukan perkampungan-perkampungan Bugis. Bahkan penyebaran Suku Bugis bukan
hanya di Nusantara saja, melainkan sudah sampai ke sebagian wilayah di Asia
seperti Malaysia, China, Brunai, Arab Saudi, Mesir dan di daerah-daerah sekitarnya.
Asal usul orang
Bugis hingga saat ini masih belum jelas. Hal ini disebabkan oleh kurangnya
bukti otentik baik berupa prasasti atau dokumen-dokumen sejarah yang dapat
mendukung penelusuran sejarah orang Bugis. Adapun sumber yang mendukung
hanyalah sumber tertulis setempat yang dapat diandalkan yang hanya berisi
informasi abad ke 15 dan sesudahnya.[5]
Akan tetapi, orang
Bugis pada zaman dahulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang
telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” menurung atau
dari “dunia bawah” yang “naik” tompo untuk membaa norma dan aturan sosial ke
bumi.[6]
Menurut riwayat kuno
bahwa To Manurung pertama yang menginjakkan kakinya di daratan Sulawesi adalah Tamboro
Langi’. Dia berdiri di puncak Gunung Latimojong bagian Selatan dan bagian
Tengah yang masih kering. Tambo Langi’ kemudian menikah dengan Tande Bili, seorang
dewi yang muncul dari sungai Saddang, dan mempunyai putra yang bernama
Sandaboro dan selanjutnya melahirkan La Kipadada. Dan La Kipadada lah yang
membangun tiga kerajaan besar, yaitu Rongkong (asal mula kerajaan Toraja), Luwu
(asal mula kerajaan Bugis) dan Gowa (asal mula kerajaan Makassar).[7]
B. Mite; Adat Kebudayaan Dan Kepercayaan Lokal
Suku Bugis dikenal
dengan suku perantau yang tersebar ke beberapa wilayah di Indonesia. Suku Bugis
merupakan suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku
Bugis sangat menghindari tindakan-tindakan yang dapat membuat malu keluarga. Sehingga
dalam tradisinya sangat menjunjung tinggi adat kebudayaanya yang selalu di
lakukannya secara turun temurun.[8]
1. Adat Kebudayaan:
1)
Adat Kepribadian
Dalam tradisi budaya Suku Bugis, terdapat tiga hal yang
dapat menggambarkan tendang budaya orang Bugis, yaitu konsep Ade’, Siri’, Na Pesse’ dan Simbolisme
orang Bugis adalah Sarung Sutra.
a. Konsep Ade’. Dalam bahasa Indonesia “ Ade’ ”
adalah adat istiadat. Bagi masyarakat Bugis, ada empat jenis adat, yaitu:
·
Ade’ Maraja (yang dipakai
dikalangan Raja atau para pemimpin)
·
Ade’ Puraonro (adat yang sudah dipakai sejak
lama di masyarakat secara turun temurun)
·
Ade’ Assamaturukeng (peraturan yang ditentukan
sesuai kesepakatan)
·
Ade’ Abiasang (adat yang dipaai
dari dulu sampai sekarang dan sudah diterapkan dalam masyarakat)
Menurut Lontara
Bugis (catatan kuno mengenai Suku Bugis), terdapat empat prinsip dasar dari
Ade’ yaitu Ade’ Bicara, Rapang, Wari, dan
Sara. Konsep ini lebih dikenal sebagai “Pangngadereng”.
Ade’ merupakan manifestasi sikap yang
fleksibel terhadap berbagai jenis peraturan dalam masyarakat. Rapang lebih merujuk pada model tingkah
laku yang baik, yang hendaknya diikuti oleh masyarakat. Sedangkan Wari adalah aturan mengenai keturunan
danhirarki masyarakat. Dan Sara adalah
aturan adat yang berbaur dengan Islam.[9]
b. Konsep Siri’. Makna Siri’
dalam masyarakat Bugis sangat begitu berarti sehingga ada sebuah pepatah
Bugis yang mengatakan “ Siri’ Paranreng,
Nyawa Pa Lao “ yang berarti: “Apabila harga diri telah terkoyak, maka
nyawalah bayarannya”. Begitu tinggi makna dari Siri’ itu, sehingga dalam masyarakat Bugis bahwa kehilangan harga
diri seseorang hanya dapat dikembalikan dengan bayaran nyawa oleh si pihak
lawan bahkan yang bersangkutan sekalipun. Namun adat istiadat tersebut sudah
tidak dilakukan lagi, karena pengaruh budaya Islam yang masuk sejak tahun
1600-an. Siri’ memberikan prinsip yang tegas bagi tingkah laku orang Bugis.
Menurut pepatah
orang Bugis, hanya orang yang punya Siri’
yang dianggap sebagai manusia. Bunyinya: Naia
Tau De’ga Siri’na, De’ga Lainna Na Olo’kolo’e. Siri’e Mitu Tariaaseng Tau. Artinya:
“barangsiapa yang tidak punya malu, maka dia bukanlah siapa-siapa, melainkan
hanya seekor Binatang”.[10]
c. Konsep Siri’ Na Pacce. Secara lafdziah, Siri’ mengandung gabungan kata Siri’ Na Pacce, berarti Siri’ (rasa malu/harga diri) dan Pacce (ikut/kebiasaan lama), jadi kata
tersebut maknanya “orang yang berbuat sesuatu tanpa ada rasa malu (harga diri).
Dalam struktur
masyrakat Bugis, Siri’ mempunyai
empat kategori, yaitu:[11]
·
Siri’ Ripakasiri’, secara bahasa artinya “rasa
malu yang dipermalukan”. Tetapi maknanya adalah rasa malu yang berhubungan
dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga.
Malu (Siri’) jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang dilanggar karena
taruhannya adalah nyawa.
·
Siri’
Mappaasiri’siri’, secara bahasa artinya “rasa
malu yang sangat memalukan”. Malu (Siri’) jenis ini berhubungan dengan etos
kerja. Dalam Falsafah Bugis disebutkan, “Narekko
De’gaga Siri’mu, Inrengko Siri”, Artinya “jika anda tidak mempunyai malu,
maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu”. Begitu pula
sebaliknya, “Narekko Engka Siri’mu, Aja’ Mumappakasiri’siri’”.
Artinya “jika anda punya malu, maka jangan membuat malu (memalukan).
·
Siri’ Tappela’
Siri’, artinya rasa malu seseorang itu hilang (terusik)
karena sesuatu hal “seseorang yang mempermalukan dirinya sendiri”. Artinya
seseorang yang telah berjanji/membuat janji, harus menepati janjinya sebagai
apa yang disepakati oleh kedua pihak.
·
Siri’ Mate
Siri’, artinya rasa malu yang berhubungan dengan Iman.
Maknanya, orang yang didalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman)
sedikitpun. Orang seperti ini, diapakanpun tidak akan pernah merasa malu, atau
orang Bugis menyebutnya “bangkai hidup yang hidup”.[12]
(Gambar: Prosesi Pernikahan,
Sumber Website “Pakaian Pengantin Bugis”)
Dalam sistem
pernikahan adat Bugis terdapat perkainan Ideal:
a.
Assialang Maola, ialah perkwinan antara saudara
sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun ibu.
b.
Assialanna Memang, ialah perkawinan antara saudara
sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupu ibu.
c.
Ripaddeppe’ Abelae, ialah perkawinan antara saudara
sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun ibu.
Adapun
perkawinan-perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (Salimara’):
perkawinan antara anak dengan ibu/ayah, perkawinan antara saudara sekandung,
perkawinan antara menantu dan mertua, perkawinan antara paman/bibi dengan
kemenakan dan perkawinan antara kakek/nenek dengan cucu.[13]
Bagi masyrakat
Bugis, pernikahan diawali dengan proses melamar atau “Madduta”. Jika lamaran diterima, maka dilanjutkan dengan proses
membawa uang lamaran dari pihak pria yang akan dipakai untuk acara pesta
pernikahan oleh pihak wanita (Mappenre’
Dui). Pada saat mengantar uang lamaran, kemudian ditetapkan hari yang baik
untuk acara pesta pernikahan yang merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak.
Sehari sebelum hari “H” berlangsung acara “malam pacar/mappacci” yang dilakukan di tempat masing-masing sebelum bertemu,
dengan tujuan untuk menunggu keluarga atau kerabat untuk datang mengoleskan
daun pacar ketangan penganting sambil diiringi doa-doa untuk kebahagiaan
mereka. Dan pada hari “H” nya, kegiatan dilakukan dengan tradisi adat yang
berlaku selama satu hari satu malam.[14]
3) Rumah Adat
Dalam tradisi
masyarakat Suku Bugis, Rumah Adat sudah menjadi suatu adat kebudayaan yang
harus ada dalam setiap perumahannya. Rumah adat dijadikan sebagai suatu tradisi
kebudayaan yang pasti ada disetiap daerah masyaraat Bugis, karena bagi
masyarakat Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga
sebagai tempat atau ruang pusat siklus kehidupan. Yakni tempat manusia
dilahirkan, dibesarkan, dikawinkan, meninggal dan segala sesuatu perayaan
lainnya. Oleh karenanya, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan
kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur.[15]
Rumah Bugis
mempunyai keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku
yang lain (Sumatera dan Kalimantan). Rumah Panggung Bugis mempunyai struktur
tersrndiri, dimana bentuknya memanjang kebelakang, dengan tambahan disamping
bangunan utama dan bagian depan (Lego-lego).
Tiang utama disebut Alliri yang
terdiri atas 4 batang dalam setiap barisnya. Jumlahnya tergsntung jumlah ruang
yang akan dibuat. Namun pada umunnya, terdiri dari ¾ baris tiang (alliri). Sehingga totalnya ada 12 batang tiang. Fadongko’, yaitu bagiang yang bertugas
sebagai penyambung dari tiang-tiang tersebut. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas
dari tiang paling tengah tiap barisnya. Orang Bugis yang mempunyai rumah kolong
(panggung), konon katanya orang Bugis, jauh sebelum Islam masuk ke tanah Bugis,
orang Bugis telah memiliki kepercayaan baha alam semesta initerdiri atas 3
bagian, bagian atas (botting langi), bagian
tengah (alang tangnga), dan bagian
bawah (paratiwi). Dan itulah yang
mengilhami mereka. Dan rumah panggung tersebut terbuat dari kayu-kayu yang
telah dibentuk, rumah tersebut dengan panggung lepas-pasang guna supaya dapat
dipindahkan dari saru tempat ke tempat yang lain.[16]
Rumah tersebut
terdiri atas 3 tingkat, tingkat atas (botting
langi) digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat
tengah (alang tangnga) digunakan
sebagai tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur,
dan dapur. Tingkat dasar (paratiwi)
digunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, kandang ternak dan lain
sebagainya. Rumah tradisional Bugis dapat digolongkan berdasarkan status
pemiliknya atau berdasarkan status sosial yang berlaku.[17]
2. Sistem Kepercayaan Lokal
Sistem kepercayaan
yang dimaksud adalah bayangan manusia terhadap berbagai perwujudan yang berada
diluar jangkauan akal dan pikiran manusia. Wujud-wujud tersebut tidak
terjangkau oleh akal dan pikiran sehingga perujudan tersebut harus dipercaya
dan diterima sebagai dogma yang berpangkal kepada keyakinan dan kepercayaan.
Bayangan dan gambaran tersebut antara lain tentang alam ghaib yang mencakup
sejumlah perwujudan seperti dewa-dewa, makhluk halus, roh-roh dan sejumlah
perwujudan lainnya yang mengandung kesaktian. [18]
Adapun sistem
kepercayaan mereka, diantaranya adalah: Kepercayaan Towani Tolotang. Towani Tolotang mengandung arti “orang selatan”.
Towani tolotang merupakan salah satu dikelurahan Amparita. Tolotang juga
merupakan sebutan bagi agama mereka anut, kepercayaan Tolotang bersumber dari
kepercayaan tentang Sawerigading, sebagaimana yang dipahami masyarakat Bugis
pada umumnya.
Kepercayaan ini
didirikan oleh La Panaungi karena mendapat wahyu dari Sawerigading untuk
melanjutkan ajarannya dan melakukan pemujaan terhadap Dewata Sewwae. Kitab Suci
dari ajaran ini adalah La Galigo. Kitab suci ini disimpan dan dilafalkan oleh
pemimpin mereka yang disebut “Uwa”.[19]
(Gambar: Kitab I La
Galigo, Sumber Website “Kitab I La Galigo”)
Mereka juga
mempercayai adanya dewa-dewa disamping Dewata
Sewwae (Tuhan Yang Maha Esa), To Rie
A’ra’na (Yang Maha Berkehendak). Konsepsi Dewata Sewwae atau To Rie
A’ra’ Na mengisyaratkan bahwa sebelum Islam masuk ke Sulawesi Selatan,
konsep pemikiran tentang ketuhanan telah melembaga. Masyarakat Bugis telah
menanam kepercayaan dalam diri mereka terhadap Dewata Sewwae sebagai Dewa Tunggal. Tidak terujud (De’ Watangna), tidak makan dan tidak
minum, tidak diketahui tempatnya, tidak berayah dan tidak beribu, tetapi
mempunyai banyak pembantu.[20]
Dalam masyarakat
Towani Tolotang dikenal adanya pemimpin agama yang mereka sebut Uwa dan Uwatta yang sekaligus sebagai semacam kepala suku. Kelompok Uwa dan Uwatta menempati posisi tertinggi dalam sistem pelapisan sosial dikalangan
masyarakat Towani Tolotang dan dijadikan sebagai perantara manusia dengan Dewata Sewwae.[21]
Hal serupa
dikemukakan pula Mattulada, bahwa religi orang Bugis pada masa pra-Islam
seperti tergamar dalam kitab I La Galigo, sebenarnya sudah mengandung suatu
kepercayaan kepada satu Dewa yang tunggal, yaitu disebut dengan beberapa nama,
seperti: PatotoE (Dia penentu Nasib), Dewata Sewwae (Tuhan Yang Maha Esa), dan
Tu Rie A’ra’na (Yang memiliki kehendak mutlak). Sisa-sisa kepercayaan tersebut
masih tampak jelas hingga kini dibeberapa daerah, seperti Tolotang di Sidrap
dan Kajang di Bulukumba.[22]
(Gambar 1: Towani Tolotang dan Gambar 2: Suku
Bugis Kajang, Sumber Website “Kepercayaan Tradisional Suku Bugis”)
C. Ritus Dalam Suku Bugis
(Gambar 1: Suku
Bugis Kajang, Sumber Website “Kepercayaan sigajang laleng lipa”)
Kepercayaan animisme
mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan masyarakat. Dalam
ritual-ritual Suku Bugis, dilakukannya untuk para arwah nenek moyang mereka
yang dinyatakan dalam bentuk pemujaan terhadap kuburan dan tempat-tempat
tertentu. Pemujaan diberikan terhadap kuburan orang-orang yang berjasa pada
masyarakat dahulu. Ritual seperti itu, berlanjut pada masa-masa pasca-Islam dan
masih dapat ditemukan dalam masyarakat Sulawesi Selatan, seperti Gowa, Sidrap
dan sekitar Bulukumba sampai sekarang ini. Selain itu, mereka juga melaksakan
pemujaan terhadap tempat dan benda-benda tertentu yang dianggap sakral, seperti
Batu Naparak (batu datar), Pohon Kayu Besar, Gunung, Sungai dan Posi Butta/Bola (tiang tengah sebuah
rumah).[23]
Ritual-ritual yang
berkaitan dengan kepercayaan pada kuburan, tempat dan benda-benda
tertentu,dipimpin oleh seorang Pinati
(untuk menjaga tempat-tempat sakral serta melayani upacara sesajen). Upacara
sosial yang biasa dilakukan oleh masyarakat setelah panen disebut upacara Saukang/Maccera’. Tempat upacara biasa
dilakukan di Posi Butta di Kayuara (jenis pohon kayu besar). Adapun
dalam rumah tangga Bangsawan atau kepala-kepala adat, disimpan suatu benda
sakral, seperti Keris, Kalewang dan Panji. Benda-benda itu disebut Pantasak dan merupakan simbol status
keluarga dalam masyarakat.[24]
Berbagai ritual yang
dilakukan untuk memohon dan menyembah para dewata-dewata tersebut. Ritual
penyembahan Massompa antara lain
disebut: Tulakbala, Massorong, Mappenre’,
Mattoana’, Millau Bosi, Matteddu’ Arajang, Mappedaung Arajang, Manre Sipulung,
Maddoja Bine, Mappalili, Mappalettu’ dan lain sebagainya. Ritual semacam
itu dihadiri oleh sebagian komunitas atau masyarakat setempat.[25]
Jumlah dewa-dewa
orang Bugis pra-Islam sangat banyak, kebanyakan diantara para dewa menempati
tempat-tempat yang dianggap keramat. Dewa-dewa tersebut datang pada tempat
tersebut apabila diadakan upacara/ritual. Dewi padi (Sangiasseri) yang hidup diantara para kaum Tani akan datang pada
upacara Mappalili atau Maddoja Bine.[26]
Pranata-pranata
keagamaan yang menghubungkan dengan sistem-sistem kepercayaan orang Bugis
pra-Islam dapat kita lihat dari segi kepercayaan yang meliputi: Pammasareng, Dewata-dewata, Tau Tenrita,
Barilaya, Makerre’, Lasa Namateng, Atuwong Lino Na Esso Rimonri, dan
sebagainya. (Nyompa, 1992 : 40).[27]
D. Interaksi Kepercayaan Suku Bugis dengan Agama Lain
Dalam melangsungkan
interaksi kepercayaan masyarakat Bugis dengan agama lain, khususnya seperti
kepercayaan orang Toraja dan juga Islam. Interaksi antara Suku Bugis dengan
Toraja, agama tidak menjadi penghambat mereka dalam hidup berdampingan. Menurut
Kesuma (2012: xii) bahwa bukan lagi rumpun yang dijadikan parameter untuk
menjalin hubungan, melainkan jenis produk dan prospek usaha yang menjadi ukuran
utama. Dalam interaksi sosial masyarakat Bugis, tata krama dan sopan santun
sangat diutamakan (Kesuma, 2012: 11), sehingga Suku Toraja merasa dihargai dan
dihormati, sehingga mereka tetap nyaman melakukan interaksi walau berbeda.
Filsafat Bugis dalam
(Kesuma, 2012: 98) bahwa “ Resopa
Temmangingngi Naletei Pammase Dewata “, artinya “hanya dengan kerja keras
yang dapat mendatangkan pertolongan dari Tuhan”. Dari Filsafat tersebut
tercermin dari keuletan Suku Bugis dalam berwirausaha. Hal tersebut juga
tercermin dalam keuletan orang Toraja.[28]
Kesamaan keuletan
antara Suku Bugis dengan Suku Toraja dalam kehidupan sehari-hari sehingga
keduanya tetap melangsungkan interaksi dengan baik. Antara Suku Bugis dan
Toraja mempunyai perbedaan dalam pekerjaan. Menurut Kesuma (2012: 5) bahwa Suku
Bugis yang dikenal dengan jiwa Wirausahawa (pedagang) sedangkan Suku Toraja
sebagai pengrajin sepatu, lebih cenderung pada bidang produksi sehingga
perseingan tersebut melebur menjadi hubungan interaksi yang saling membutuhkan
antara puhak produksi dan pedagang.[29]
Sedangkan interaksi lain
yang terjadi dalam Suku Bugis dengan Islam juga terjaling sama dengan Toraja tersebut.
Dimana pada saat Islam masuk ke wilayah masyarakat Bugis, Suku Bugis
menerimanya dengan damai, karena dalam adat istiadat tradisi Bugis yang di
pegang kokoh adalah sangat menghormati tamu mereka atau pendatang baru. Dalam
penjelasan lain, Suku Bugis menerima Islam karena adanya persamaan kepercayaan
yang dianutnya dengan Islam, sehingga membuat mereka semakin yakin dan mencoba
untuk menjalin hubungan atau mengislamkan dirinya tanpa harus menghilangkan
tradisi mereka.
Pada mulanya,
Interaksi orang Bugis dengan Islam hanyalah sebuah hubungan kekerabatan saja.
Seiring dengan berjalannya waktu, Islam dan Bugis telah cukup membaur dalam
kehidupan masyarakat Bugis, sehingga Islamisasi orang Bugis berlangsug secara
damai dan menyebar luas dengan dimulai dari lapisan elit ke lapisan massa
bawah. Ketika orang Bugis menyatakan dirinya sebagai Islam, berawal dari Raja
mereka, karena orang Bugis mematuhi rajanya oleh sebab demikian mereka
mengikuti apa yang dilakukan Raja. Meskipun pada saat ini mereka Islam, tetapi
adat ritual mereka masih melekat dan masih diperaktekan sesuai dengan konsep
Islam sampai sekarang.[30]
Jelasnya, bila Raja
telah memeluk Islam, maka rakyat dipandang juga telah memeluk agama tersebut.
Agama raja serta merta menjadi agama Negara. Alasan lain mengatakan bahwa
interaksi Suku Bugis dengan Islam terjadi karena bagi Suku Bugis, agama
merupakan unsur penting yang menentukan identitas suatu masyarakat. Oleh karena
itu, diterimanya Islam sebagai agama orang Bugis yang merupakan suatu peristiwa
yang sangat penting.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asal usul Suku Bugis
berawal dari bangsa suku-suku Deuto Melayu, yang masuk keNusantara melalui
migrasi dari daratan Asia tepatnya Yunan.
Suku Bugis terbanyak
mendiami daerah Sulawesi Selatan. Seperti suku-suku lainnya, Suku Bugis
mempunyai tradisi adat yang dipegang teguhnya, seperti Adat Istiadat berbicara,
perkawinan, budaya lokal dan sebagainya.
Suku Bugis mempunyai
tradisi kepercayaan lokal yang dianutnya pertama kali, yakni Towoni Tolotang,
yang berarti orang Selatan. Kepercayaan tersebut adalah kepercayaan terhadap
Dewa-dewa, namun ada satu Dewa yang diagungkan sebagai Dewa Tunggal (Tuhan Yang
Maha Esa), atau disebut penganut aliran Henoteisme.
Sebagaimana apa yang
telah diuraikan, sampai saat ini keberagamaan dan kepercayaan orang Bugis yang
identik dengan Islam masih sarat dengan praktek singkreatisme antara ajaran
Islam dan pra-Islam.
Dalam tradisi ritual
suku Bugis merupakan pencampur adukan dengan ajaran Islam, sehingga dengan
dasar tersebut, dalam ritual tradisi keberagamaan orang Bugis merupakan
campuran dari unsur-unsur Islam dan pra-Islam. Adapun proporsi unsur tersebut
dalam ritual yang satu berbeda dengan ritual lainnya karena tidak ada standar
baku yang mengaturnya. Setiap Sandro (dukun),
setiap orang melakukan ritus tertentu, mendasarkan praktek mereka menurut tata
cara yang diciptakan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat.
1997. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta:
Dian Rakyat.
Fadillah, Moh. Ali
dan Ian Sumantri (ed). 2000. Kedatuan
Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah
dan Antropologi. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin atas
kerja sama dengan Institut Etnografi Indonesia.
Yunus, Ahmad.
1991-1992. Lontarak Pangissengeng Daerah
Sulawesi Selatan. jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nyompa, Johan.
1992. Mula Tau (satu studi tentang
Mitologi orang Bugis). Makassar: Universitas Hasanuddin.
Faisal, Ahmad,
2004, Agama Sebagai Konsep Sosial Towani
Tolotang di Kabupaten Sidrap, Program Pasca Universitas Negeri Makassar,
Tesis.
Kesuma, Andi Ima.
2004. Migrasi Dan Orang Bugis.
Yogyakarta: Ombak
Dg. Patunru,
Abdurazak. 1967. Sejarah Gowa. Makassar:
Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara.
Jurnal Al-Umum.
2012. RELIGIUSITAS DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR. Yogyakarta:
Mustaqim Pabbajah CRCS Universitas Gadjah Mada.
http://id.wikepedia.org/ diakses pada: Sabtu 1 Maret 2017, pukul 16:30 WIB.
http://rezkirasyak.blogspot.co.id/2012/04/sejarah-asal-mula-bugis--history-of.html?=1 (Artikel Rezki Rasyak: History Bugis) diakses pada:
Sabtu 18 Maret 2017, pukul 16:30 WIB.
http://southsulawesiarticles.blogspot.com/2012/09/bugis-sejarah-yang-belum-terungkap.html?=1 (Jurnal Perlas-The Bugis, 2006) diakses pada: Sabtu 18
Maret 2017, pukul 17:00 WIB.
[2] Moh. Ali Fadillah, dan Ian Sumantri (ed). Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi. (Makassar: Lembaga
Penerbitan Universitas Hasanuddin atas kerja sama dengan Institut Etnografi
Indonesia, 2000), h. 110
[3] Moh. Ali Fadillah, dan Ian Sumantri (ed). Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi. (Makassar: Lembaga
Penerbitan Universitas Hasanuddin atas kerja sama dengan Institut Etnografi
Indonesia, 2000), h.110
[4] Artikel Rezki Rasyak http://rezkirasyak.blogspot.co.id/2012/04/sejarah-asal-mula-bugis--history-of.html?=1. diakses pada: Sabtu 18 Maret 2017, pukul
16:30 WIB
[6] Perlas-The Bugis, 2006 (http://southsulawesiarticles.blogspot.com/2012/09/bugis-sejarah-yang-belum-terungkap.html?=1) diakses pada: Sabtu 18 Maret 2017, pukul
17:00 WIB
[7] Abdurazak Dg. Patunru. 1967. Sejarah
Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara. Hal. 117
[8]
Ahmad Faisal. 2004. Agama Sebagai
Konsep Sosial Towani Tolotang Di Kabupaten Sidrap. Program Pasca
Universitas Negeri Makassar, Tesis.
[9] Ahmad Yunus. 1991-1992. Lontarak
Pangissengeng Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan. Hal. 89
[10] Ahmad Faisal. 2004. Agama Sebagai
Konsep Sosial Towani Tolotang Di Kabupaten Sidrap. Program Pasca
Universitas Negeri Makassar, Tesis.
[11] Moh. Ali Fadillah, dan Ian Sumantri (ed). Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi. (Makassar: Lembaga
Penerbitan Universitas Hasanuddin atas kerja sama dengan Institut Etnografi
Indonesia, 2000), h.119
[12] Moh. Ali Fadillah, dan Ian Sumantri (ed). Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi. (Makassar: Lembaga
Penerbitan Universitas Hasanuddin atas kerja sama dengan Institut Etnografi
Indonesia, 2000), h.120
[13] Moh. Ali Fadillah, dan Ian Sumantri (ed). Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi. (Makassar: Lembaga
Penerbitan Universitas Hasanuddin atas kerja sama dengan Institut Etnografi
Indonesia, 2000), h.121
[14] Johan Nyompa. 1992. Mula Tau
(Studi-Studi Tentang Mitologi Orang Bugis). Makassar: Universitas
Hasanuddin. Hal. 89
[15] Ahmad Yunus. 1991-1992. Lontarak
Pangissengeng Daerah Sulawesi Selatan. Jakarta: Departemen Pendidikan Dan
Kebudayaan. Hal. 91
[16] Johan Nyompa. 1992. Mula Tau
(Studi-Studi Tentang Mitologi Orang Bugis). Makassar: Universitas
Hasanuddin. Hal. 90
[17] Johan Nyompa. 1992. Mula Tau
(Studi-Studi Tentang Mitologi Orang Bugis). Makassar: Universitas
Hasanuddin. Hal. 90
[18] Koentjaraningrat. Beberapa Pokok Antropologi Sosiali. (Jakarta: Dian
Rakyat, 1997). Hal. 229-230
[19] Ahmad Faisal. 2004. Agama Sebagai
Konsep Sosial Towani Tolotang Di Kabupaten Sidrap. Program Pasca
Universitas Negeri Makassar, Tesis.
[20] Moh. Ali Fadillah, dan Ian Sumantri (ed). Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi. (Makassar: Lembaga
Penerbitan Universitas Hasanuddin atas kerja sama dengan Institut Etnografi
Indonesia, 2000), h. 117.
[21] Ahmad Faisal. 2004. Agama Sebagai
Konsep Sosial Towani Tolotang Di Kabupaten Sidrap. Program Pasca
Universitas Negeri Makassar, Tesis.
[22] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1995), h.
278
[23] Jurnal Al-Umum. 2012. RELIGIUSITAS DAN
KEPERCAYAAN MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR. Yogyakarta: Mustaqim Pabbajah CRCS
Universitas Gadjah Mada.
[24] Ahmad Yunus, Lontarak Pangissengeng Daerah Sulawesi Selatan, (jakarta:
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991-1992), h. 28
[25] Jurnal Al-Umum. 2012. RELIGIUSITAS DAN
KEPERCAYAAN MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR. Yogyakarta: Mustaqim Pabbajah CRCS
Universitas Gadjah Mada.
[26] Jurnal Al-Umum. 2012. RELIGIUSITAS DAN
KEPERCAYAAN MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR. Yogyakarta: Mustaqim Pabbajah CRCS
Universitas Gadjah Mada.
[27] Johan Nyompa, Mula Tau (satu studi tentang Mitologi orang Bugis), (Makassar:
Universitas Hasanuddin, 1992), h. 40
[28] Andi Ima Kesuma. 2004. Migrasi
Dan Orang Bugis. Yogyakarta: Ombak. Hal. 210
[29] Ibid. Hal. 210
[30] Abdurazak Dg. Patunru, Sejarah Gowa, (Makassar: Yayasan
Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara, 1967), h. 22
Komentar
Posting Komentar