Profil Suku-Suku; Bugis, Tolaki dan Muna


PROFIL SUKU-SUKU (Bugis, Tolaki dan Muna) DAERAH SULAWESI
SUKU BUGIS
1.      Asal Usul :

Bugis adalah suku yang tergolong kedalam suku-suku Deutero Melayu, atau Melayu Muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia, tepatnya Yunan. Kata “Bugis” berasal dari kata “To Ugi”, yang berarti orang Bugis, penamaan Ugi merujuk pada Raja pertama kerajaan China yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi, ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai “To Ugi” atau orang-orang atau pengikut La Sattumpugi.
La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opumanna Ware atau orang yang dipertua di Ware, adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi Masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwu, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi, seperti Buton.
2.      Mitologi :
Mitologi I La Galigo, semula milik kerajaan Luwu yang terletak di utara teluk Bone, kemudian menjadi milik seluruh komunitas Bugis; bahkan meluas pada beberapa suku yang berbahasa sendiri, seperti  Suku Toraja, Enrekang, Mandar, Wolio (Sulawesi Tenggara), Kaili (Sulawesi Tengah) dan Gorontalo.
Cerita I La Galigo dimulai dengan permufakatan para Dewa di Kahyangan untuk mengisi kehidupan dunia tengah (Bumi), degan mengawinkan Batara Guru yaitu anak dari Datu’ Patoto’E (Sang Pencipta) dengan We Nyilitimo yaitu anak dari Ri Selleng di dunia Bawah. Dari perkawinan ini lahirlah Batara Lattu yang dikawinkan dengan We Datu Senngeng, anak La Urumpessi. Perkawinan yang kedua melahirkan anak kembar laki-laki dan perempuan yaitu Sawerigading dan Tenriabeng. Dengan melalui petualangan yang berliku akhirnya Sawerigading berhasil mempersunting I We Cudai dari negeri Cina.
Dari perkawinan terakhir ini lahirlah I La Galigo. Selanjutnya We Tenriabeng mempunyai anak yaitu Salinrunglangi yang bernama Mutiotoja. Batara Guru, Batara Lattu dan Salinrulangi adalah Raja Dunia Tengah (Bumi) yang berkedudukan di Luwu.
3.      Sistem Kemasyarakatan : Menurut Friedericy, dulu ada tiga lapisan pokok, yaitu: 1) Anakarang atau lapisan kaum kerabat raja-raja. 2) To-Maradeka atau lapisan orang merdeka/orang yang mampu. 3) Ata atau lapisan orang Budak, yaitu orang yang ditangkap dalam peperangan, tidak dapat membayar hutang dan orang yang melanggar pantangan adat.
Sedangkan susunan lapisan gelar-gelarnya, adalah sebagai berikut:
·      Datu, adalah gelar bangsawan yang memegang pemerintahan daerah (Bupati)
·      Arung, adalah gelar bangsawan yang memegang pemerintahan wilayah (Camat)
·      Puang, adalah gelar yang diberikan kepada anak dari perkawinan gelar Arung dan Andi yang mempunyai isteri masyrakat biasa.
·      Iye/ye, adalah gelar masyarakat biasa yang mempunyai silsilah dekat dengan kerabat bangsawan.
·      Uwa, adalah kasta terendah/gelar masyarakat biasa.
4.      Kebudayaan : Budaya-budaya Bugis sesungguhnya yang diterapkan dalam kehidupan sehari-hari mengajarkan hal-hal yang berhubungan dengan akhlak sesama, seperti mengucapkan Tabe’ (permisi) sambil berbungkuk bila sedang lewat depan sekumpulan orang tua, mengucapkan kata Iye’ jika menjawab pertanyaan sebelum mengutarakan alsan, ramah dan menghargai orang-orang. Diantara kebudayaan lainnya:
1)        Bahasa ;

Etnik Bugis mempunyai bahasa tersendiri dikenali sebagai Bahasa Bugis (Ugi)
Konsonan di dalam Ugi pula di kenali sebagai Lontara yang berdasarkan tulisan Brahmi. Orang Bugis mengucapkan bahasa Ugi dan telah memiliki kesusasteraan tertulis sejak berabad-abad lamanya dalam bentuk lontar.
Huruf yang dipakai adalah aksara lontara, sebuah sistem huruf yang berasal dari Sanskerta. Cara membacanya dari kiri kekanan. Lontara Bugis-Makassar merupakan sebuah huruf yang sakral bagi masyarakat bugis klasik. Huruf lontara tidak hanya digunakan oleh masyarakat bugis tetapi huruf lontara juga digunakan oleh masyarakat makassar.


2)        Rumah Adat;
Rumah Panggung Bugis mempunyai struktur tersrndiri, dimana bentuknya memanjang kebelakang, dengan tambahan disamping bangunan utama dan bagian depan (Lego-lego). Tiang utama disebut Alliri yang terdiri atas 4 batang dalam setiap barisnya. Jumlahnya tergsntung jumlah ruang yang akan dibuat. Namun pada umunnya, terdiri dari ¾  baris tiang (alliri). Sehingga totalnya ada 12 batang tiang. Fadongko’, yaitu bagiang yang bertugas sebagai penyambung dari tiang-tiang tersebut. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari tiang paling tengah tiap barisnya. Orang Bugis yang mempunyai rumah kolong (panggung), konon katanya orang Bugis, jauh sebelum Islam masuk ke tanah Bugis, orang Bugis telah memiliki kepercayaan baha alam semesta initerdiri atas 3 bagian, bagian atas (botting langi), bagian tengah (alang tangnga), dan bagian bawah (paratiwi). Dan itulah yang mengilhami mereka. Dan rumah panggung tersebut terbuat dari kayu-kayu yang telah dibentuk, rumah tersebut dengan panggung lepas-pasang guna supaya dapat dipindahkan dari saru tempat ke tempat yang lain.
Rumah tersebut terdiri atas 3 tingkat, tingkat atas (botting langi) digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat tengah (alang tangnga) digunakan sebagai tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur, dan dapur. Tingkat dasar (paratiwi) digunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, kandang ternak dan lain sebagainya. Rumah tradisional Bugis dapat digolongkan berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan status sosial yang berlaku.

3)        Makanan Khas;
Makanan Khas Bugis dikenal dengan nama “Burasa” atau Buras. Makanan tersebut disuguhkan ketika ada perayaan-perayaan agama, seperti pada saat hari raya lebaran Idul Fitri dimana didalamnya adalah ritual syukuran-syukuran tersebut.
Buras tersebut terbuat dari beras, yang dibungkus dengan daun pisang. Buras tersebut, disunguhkan sebgai pengganti nasi, yang dimana dapat disajikan dengan sup, kari ayam, ayam, telur dan lain-lain. Buras itu, memiliki keunikan rasa tersendiri dibanding dengan makanan lainnya, seperti ketupat.
4)        Benda Pusaka;
Benda Pusaka Bugis adalah merupakan senjata tradisional peninggalan para leluhur mereka, orang Bugis sendiri menyebutnya dengan nama “Badik”. Senjata Pusaka tersebut tidak diperjual belikan, karena merupakan salah satu benda yang bersifat mistik.

5)        Pakaian Adat;          
Baju Bodo adalah merupakan pakaian adat Bugis, dikatakan baju Bodo karena berlengan pendek dengan sehelaian sarung sebagai penutup pinggang/pengganti rok. Baju bodo biasanya dihiasi dengan berbagai motif yang berbaur keemasan seperti dalam pakain pernikahannya. Baju Bodo ini, lebih umumnya dipakai oleh seorang perempuan.
5.      Ritual :
Dalam ritual-ritual Suku Bugis, dilakukannya untuk para arwah nenek moyang mereka yang dinyatakan dalam bentuk pemujaan terhadap kuburan dan tempat-tempat tertentu. Pemujaan diberikan terhadap kuburan orang-orang yang berjasa pada masyarakat dahulu. Ritual seperti itu, berlanjut pada masa-masa pasca-Islam dan masih dapat ditemukan dalam masyarakat Sulawesi Selatan, seperti Gowa, Sidrap dan sekitar Bulukumba sampai sekarang ini. Selain itu, mereka juga melaksakan pemujaan terhadap tempat dan benda-benda tertentu yang dianggap sakral, seperti ritual pada Kuburan Kuno, Batu Naparak (batu datar), Posi Bola/Butta (tiang tengah rumah), Mappalili, Maccera’, Tola’ Bala’, Millau Bosi, Massempe’, Sigajang Laleng Lipa’. Dll.

SUKU TOLAKI
1.      Asal Usul :
Abdurauftarimana Tarimana adalah salah seorang antropolog, dalam kajiannya mengenai kebudayaan Tolaki (1985) melihat asal usul orang Tolaki ( masyarakat yang mendiami sebagian besar daratn Sulawesi Tenggara), dengan melihat cerita rakyat yang berkembang di daerah ini (Oheo. Pasa”eno, Wekoila dan Onggabo).
Dari hasil analisa yang telah dilakukan terhadap cerita rakyat tersebut, Tarimana menduga bahwa orang Tolaki itu datang kewilayah daratan Sulawesi Tenggara ini dari utara dan timur. Mungkin mereka yang datang dari utara itu berasal dari Tiongkok Selatan yang melalui Filipina Kepulauan Mindanao, Sulawesi Utara, Halmahera, dan Sulawesi bagian Timur, terus memasuki muara Lasolo atau Sungai Konawe’eha dan akhirnya memilih lokasi pemukiman pertama dihulu sungai itu ( Tarimana, 1985:51).
Tinjauan lain mengenai asal usul orang Tolaki, dapat juga dilihat melalui ciri antropologisnya. Hal ini sesuai dengan yang telah dipaparkan oleh Rustam E. Tamburaka dalam Profil Kerpendudukan dan Keluarga Bencana Propinsi Sulawesi Tenggara ( 1989 : 5 ) sebagai berikut :
Dilihat dari ciri-ciri antropologisnya baik cepalixindeks, mata, rambut maupun warna kulit Suku Tolaki memilki kesamaan dengan ras Mongoloid, di duga berasal dari Asia Timur, mugkin dari Jepang untuk kemudian tersebar ke Selatan melalui Kepulauan Riukyu, Taiwan, Filipina, Sangihe Talaud, pantai Timur Sulawesi sampai ke Sulawesi Tenggara. Ada juga menyatakan bahwa perpindahan pertama berasal dari Yunan (RRC) ke Selatan melalui Filipina, Sulawesi Utara ke pesisir Timur dan Halmahera. Pada saat memasuki daratan Sulawesi Tenggara masuk melalui muara Sungai Lasolo dan Konawe’eha yang dinamakan Andolaki.
Pada mula kedatangan muasal masyarakat Tolaki mereka membentuk suatu koloni di sekitar sungai yang berada pada lembah (angalo) yang diangap subur oleh mereka rumah-rumah mereka terpusat pada para prajuri/kesatria (Tamalaki) sebagai pelindung dari ancaman, dari koloni ini membentuk beberapa koloni, sehingga menjadi koloni sedang/kampung (onapo) yang dipimpin oleh kepala suku/orang tua (Tonomotuo) dalam perkembangannya terbentuklah beberapa kampung yang membentuk Distrik/setingkat Kecamatan (O Tobu) yang dikepalai oleh Putobu. Dikarenakan akan pertumbuhan yang semakin pesat maka terbentuklah berbagai distrik-distrik lainnya yang membentuk suatu tatanan wilayah masyarakat Tolaki yang disebut Wonua (setingkat Kabupaten) yang dipimpin oleh seorang Raja (Mokole).
Orang Tolaki pada mulanya menamakan dirinya Tolohianga (orang dari langit) hal ini mungkin dikarenakan mereka berasal dari daratan yang tinggi/Pegunungan Tangkelaboke (asumsi). Menurut Tarimana, R (1993), mungkin yang dimaksud “langit” adalah “kerajaan langit” sebagaimana dikenal dalam budaya Cina (Granat, dalam Needhan; 1973, yang dikutip Tarimana). Dalam dugaannya, ada keterkaitan antara kata “hiu” yang dalam bahasa Cina berarti “langit“ dengan kata “heo” (Tolaki) yang berarti “ikut dari langit”.
2.      Mitologi :  Peristiwa tenggelamnya negeri Mekongga dikenal dengan mitos Koloimba. Koloimba berarti tempat persetubuhan wanita yang bernama Imba. Dampak peristiwa tenggelamnya negeri Mekongga meninggalkan sebuah rawa yangdiberi nama Koloimba. Rawa ini airnya berwarna merah yang dipercaya oleh masyarakat setempat merupakan darah nifas Imba sewaktu melahirkan bayi hasil hubungan dengan kakaknya yang tidak disebutkan namanya dalam cerita. Sejumlah sungai besar bermuara di tempat itu, antara lain Sungai Samilambo dan Sungai Mowewe yang airnya tetap berwarna merah.
Mitos Koloimba ini didasarkan pada nama tokoh dalam mitos tersebut yang bernama Imba, dan kolo yang berarti bersetubuh. Sampai sekarang, ada nama telaga yang bernama Koloimba yang oleh masyarakat Tolaki dipercaya sebagai tempat tenggelamnya tokoh Imba dan kakak kandungnya tersebut yang telah melakukan perkawinan antarsaudara kandung.
3.      Sistem Kemasyarakatan : Orang Tolaki menganut sistem hubungan kekerabatan yang parental sifatnya. Keluarga baru segera membentuk rumah tangga sendiri tak lama setelah pernikahan. Pihak laki-laki harus menyediakan mas kawin yang besarnya disesuaikan dengan kedudukan pihak wanita dalam masyarakat, selain itu mas kawin untuk anak perempuan yang paling tua juga lebih besar jumlahnya. Pada masa dulu dalam sistem perkawinan Tolaki ini dikenal pula adat memberi jasa kepada mertua untuk waktu tertentu. Karena itu ada kesan adat menetap sesudah menikah yang matrilokal, tapi segera dilanjutkan dengan adat neolokal.
Pengaruh sistem pemerintahan kerajaan tradisional zaman dulu menyebabkan orang Tolaki pernah mengenal pelapisan sosial yang cukup tajam. Golongan bangsawan keturunan raja atau pembesar negeri disebut “Anakia, rakyat biasa disebut maradika, dan di bawah sekal terdapat golongan budak tawanan perang dan hamba sahaya.
4.      Kebudayaan :
Budaya suku Tolaki yang dianggap sakral dan supranatural adalah budaya Kalosara. Kalosara merupakan lambang atau simbol yang mengespresikan konsepsi suku Tolaki, baik itu mengenai manusia, alam semesta serta hubungan antara manusia dan manusia lainnya.
Menurut Rauf Tarimana bahwa “Kalosara sebagai bahasa simbolik yang menyimpulkan segala aspek hakikat kehidupan sosial masyarakat Tolaki”. Oleh karena itu Kalosara disimbolkan sebagai fokus kebudayaan suku Tolaki. Tidak satupun masalah adat istiadat atau yang berurusan kebiasaan suku Tolaki tanpa dilibatkannya Kalosara.
Bentuk fisik dari Kalosara adalah sebuah benda yang terbuat dari rotan kecil yang dalam bahasa Tolaki dikenal sebagai Uewai, Uewatu, Uendatu. Rotan yang telah dipilin akan diletakkan di atas kain putih lalu dilatekkan lagi di dalam sebuah wadah Kalo. Hal ini mengandung tiga arti, yang pertama lingkaran rotan atau Kalo berarti lambang persatuan dan kesatuan, kedua kain putih yang menjadi alas dari rotan artinya kesucian dan keikhlasan, dan ketiga adalah wadah dari Kalo yang artinya kemakmuran dan kesejahteraan dalam suku Tolaki.
Masyarakat Tolaki memandang Kalosara sebagai media yang adil dalam menyelesaikan masalah adat istiadat maupun konflik sosial. Kalosara dianggap sakral oleh suku Tolaki karena Kalosara tersimpul dalam motto yang dalam bahasa Tolaki ”Inae Konasara Ieto Penesara, Inae Lia Sara Ieto Penekasara”, artinya siapa yang taat pada hukum adat maka akan diperlakukan dengan baik dan barang siapa yang melanggar akan dikasari dan diberikan hukum sesuai keputusan Sara. Dalam memutuskan suatu hukum adat maka para perangkat adat mengadakan musyawarah secara mufakat dalam memutuskan sesuatu sesuai dengan kegunaan dari Kalosara tersebut.
a)      Rumah Adat;
Rumah adat Tolaki, sudah menjadi sebagai rumah adat Sulawesi tenggara. Rumah adat ini terbuat dari kayu, dengan berbentuk rumh panggung yang bertingkan. Mengenai konstruksi pembangunan hampir sama dengan rumah adat Bugis, serta fungsi dan tujuannya. Yang membuatnya berbeda hanya pada bentuk bangunan.
b)     Makanan Khas;
Sinonggi adalah nama makanan khas Tolaki, terbuat dari batang pohon sagu yang sudah diolah. Makanan tersebut biasanya disajikan dalam kegiatan tertentu, namun sekarang makanan tersebut bisa disajikan kapan saja tergantung dari orang yang membutuhkannya.
c)      Pakaian Adat;
Pakaian tersebut diberi nama “Kinawo”. Artinya pakaian yang terbuat dari kulit kayu tertentu. Pakaian adat tersebut adalah merupakan pakaian tradisional Tolaki. Seiring dengan perkembangan zaman, pakaian tersebut mulai berubah dalam tekstilnya yaitu terbuat dari kain tenun, dimana dalam penggunaannya, sekarang hanya dapat dipakai pada saat pernikahannya.
d)     Senjata Pusaka;
Senjata tersebut diberi nama “Ta’wu”.  Senjata tersebut semacam pedang/parang yang mempunyai bentuk keunikan tersendiri sebagai motif yang berasal dari Tolaki. Senjata tersebut tidak dipergunakan sembarangan, dimana senjata tersebut dulunya digunakan sebagai alat peperangan.

5.      Ritual :
Upacara adat yang populer dari Suku Tolaki adalah Upacara Adat Mosehe, yang merupakan salah satu bentuk upacara ritual yang bertujuan untuk menolak datangnya malapetaka karena telah melakukan pelanggaran baik sengaja maupun tidak sengaja. Adapun ritual lainnya seperti; Mowindahako atau ritual adat pernikahan.

SUKU MUNA
1.      Asal Usul :
Orang Muna adalah masyarakat Suku Bangsa Muna, yang mendiami Pulau Muna dan pulau- pulau kecil disekitarnya, sebagian besar Pulau Buton khususnya bagian Utara, Utara Timur Laut dan Barat Daya Pulau Buton, Pulau Siompu, Pulau Kadatua dan Kepulauan Talaga ( wilayah Kabupaten Buton). Orang Muna menggunakan Bahasa Daerah Muna sebagai bahasa tutur diantara mereka.
Orang Muna asli memiliki kemiripan dengan suku-suku Polynesia dan Melanesia di Pasifik dan Australia. Orang Muna berbeda dengan suku-suku lain yang ada di Sulawesi Tenggara seperti suku Tolaki/Mekongga dan Moronene yang memiliki kemiripan dengan Melayu dan Mongoloid. Dari bentuk tubuh, tengkorak, warna kulit (coklat tua/hitam), dan rambut (keriting/ ikal) terlihat bahwa orang Muna asli lebih dekat dengan suku- suku yang ada di Pulau Flores dan Kepulauan Maluku. Hal ini semakin diperkuat dengan kemiripan tipikal manusianya dan kebudayaan suku-suku di Nusa Tenggara Timur dan Pulau Timor dan Flores umumnya dan Kepulauan Maluku dengan Kebudayaan dan tipikal Orang Muna.
Orang Muna juga memiliki kemiripan fisik dengan suku Aborigin di Australia. Sejak dahulu hingga sekarang nelayan- nelayan Muna khususnya di Pulau Siompu, Kadatua dan Kepulauan Talaga sering mencari ikan atau teripang dan lola hingga ke perairan Darwin. Telah beberapa kali Nelayan Muna ditangkap di perairan sekitar Darwin oleh pemerintah Australia. Kebiasaan ini boleh jadi menunjukkan adanya hubungan tradisional antara orang Muna dengan suku asli Australia Aborigin. La Kimi Batoa menjelaskan bahwa penduduk asli Pulau Muna adalah O Tomuna dan Batuawu. O Tomuna memiliki ciri- ciri berkulit hitam, rambut ikal tinggi badan antara 160- 165 Cm. Ciri-ciri ini merupakan ciri-ciri umum suku-suku malanesia dan Australia . Suku-suku di Indonesia yang memiliki ciri-ciri seperti ini mendiami wilayah Irian dan Australia (suku Aborigin). Sedangkan Batuawu berkuit Coklat beraambut ikal dan tinggi tubuh berkisar 150-160 Cm. Postur tubuh seperti ini merupakan ciri- ciri yang dimiliki suku-suku Polynesia yang mendiami Pulau Flores dan Maluku. Suku asli Muna menggunakan Bahasa muna sebagai bahasa sehari-hari.
2.      Mitologi :
Kisah La Ode Wuna yang hidup di zaman kerajaan Muna, menyisahkan kontroversi. La Ode Wuna yang digambarkan berkepala serta berbadan manusia dan berkaki ular, dianggap cerita rakyat (mitos). Namun sebagian besar masyarakat Muna meyakini bahwa La Ode Wuna keberadaanya nyata.
Bercerita tentang sejarah kerajaan Muna, tidak lepas dari kisah La Ode Wuna. Setiap masyarakat Muna pasti pernah mendengar cerita keberadaan mahluk berkepala serta berbadan manusia, tapi berkaki ular tersebut. Cerita keberadaan La Ode Wuna beragam versi, meski alur cerita dan ending (akhir cerita) sama yaitu, diasingkan di Oenggumara dan menetap di Ambon (Maluku).
Sampai saat ini, masyarakat Muna masih meyakini, La Ode Wuna masih hidup dan banyak cerita yang pernah melihat muncul di Kabupaten Muna. La Ode Wuna, menurut La Ode Sirad Imbo, hidup di jaman kerajaan Muna dibawah pimpinan Sugi Manuru, Raja Muna ke VI. "Ini menurut cerita yang kami dengara dari orang tua kami," katanya. Sugi Manuru memiliki beberapa keturunan diantaranya Lakilaponto (dikemudian hari menjadi sultan di Buton dengan gelar Murhum) dan Wa Ode Pogo. La Ode Wuna merupakan anak dari Wa Ode Pogo.
3.      Sistem Kemasyarakatan : Dalam masyarakat Muna di kenal dengan 4 golongan yaitu:
·         Golongan kaomu (golongan masyarakat yang berhak menduduki jabatan sultan, sapati, kenepulu, kapitalao dan Bobato yang kesemuanya adalah jabatan pembesar kesultanan dalam Syara Ogena).
·         Golongan walaka atau golongan sara (golongan masyarakat kesultanan Buthuuni yang berhak menduduki jabatan Sio Limbona (Majelis Syara), Bonto Ogena dan Bonto (Syara Ogena), dan Moji pada Syara Kidina/Agama).
·         Golongan anangkolaki (golongan bagi pedagang dan setaranya).
·         Golongan maradika (golongan bagi rakyat biasa).
Dalam ke empat golongan tersebut berbedah-bedah nilai uang maharnya seperti :
1)      Golongan  kaomu (La ode) menikahi golongan kaomu (Wa ode) atau golongan bawahnya, maharnya senilai 20 boka (saat ini 1 boka bernilai Rp.24.000)
2)      Jika golongan walaka menika degan golongan kaomu maka maharnya senilai 35 boka. Akan tetapi kalau menikah dengan golongan walaka juga maharnya bernilai 10 boka 10 suku (1 suku bernila 0,25 boka jadi 10 boka 10 suku sekitar 12,5 boka) akan tetapi golongan sara-kaomu maharnya adalah 15 boka. Golongan sara kaomu (perempuan sara-kaomu) artinya ayahnya golongan walaka sememtara ibunya golongan kaomu.
3)      Jika golongan anangkolaki menikahi golongan kaomu, maka maharnya adalah 75 boka. Jika menikahi golongan walaka maharnya adalah 35 boka akan tetapi jika menikahi golongan anangkolaki juga atau dibawahnya maharnya adalah 7 boka 2 suku ( atau 7,5 boka)
4)      Jika golongan mardika menikahi golongan kaomu maharnya adalah 2 x 75 boka jika menikahi golongan walaka maharnya adalah 75 boka jika menikahi anangkolaki maharnya 7 boka 2 suku (7,5 boka).
4.      Kebudayaan : Dalam adat suku Wuna (Muna), setiap anak perempuan yang akan memasuki usia remaja diwajibkan menjalani tradisi pingitan (Karia) selama empat hari empat malam atau dua hari dua malam, tergantung kesepakatan antara penyelenggara Karia dengan pomantoto. Tradisi ini bertujuan untuk membekali anak-anak perempuan dengan nilai-nilai etika, moral dan spiritual, baik statusnya sebagai seorang anak, ibu, istri maupun sebagai anggota masyarakat. Sesuai proses pingitan, diadakanlah selamatan dengan mengundang sanak keluarga, kerabat dan handai taulan. Dalam prosesi selamatan ini digelar Tari Linda yang menggambarkan tahap-tahap kehidupan seorang perempuan mulai dari melepaskan masa kanak-kanak lalu memasuki masa remaja, kemudian masa dewasa dan siap untuk mengarungi bahtera rumah.
a)      Rumah Adat;
Rumah adat Muna Muna menjadi ikon dalam masyarakat Buton (Muna). Rumah adat tersebut berdesain panggung minimalis yang terbuat dari kayu Jati, dinding yang terbuat dari anyaman bambu dan atapnya terbuat dari alang-alang. Dalam penggunannya rumah adat tersebut hampir sama dengan penggunaan rumah adat Bugis dan Tolaki, yang membuatnya berbeda hanya pada motif bangunannya.
b)     Makanan Khas;
Salah satu makanan khas daerah Muna adalah Kambose yaitu makanan yang terbuat dari olahan Jagung putih yang ditumbuk halus ketika sudah matang. Makanan tersebut sampai sekarang masih menjadi makanan sehari-hari mereka seperti halnya nasi. Makanan tersebut sudah menjadi makanan peninggalan dari nenek moyang mereka.
c)      Pakaian Adat;
Pakaian adat tersebut biasanya terdapat pada peranyaan acara-acara tertentu, seperti dalam pernikahan. Salah satu dari pakaian adata tersebut adalah sarung tenun Mabolu muna. Sarun tenun  tersebut dijadikan sebagai simbol orang muna. Dimana sarung tersebut mempunyai fungsi tersendiri sesuai dengan strata golongan masing-masing.
d)     Senjata Pusaka;
Senjata tersebut dinamai “Tobo” atau Keris. Senjata tersebut merupakan peninggalan leluhur mereka, yang digunakan sejak zaman daulu. Senjata tersebut digunakan oleh prajurit maupun rakyat kerajaan, guna untuk mempertahankan kekuasaannya.
5.      Ritual :
Sejumlah tradisi yang terkait dengan upacara daur hidup (life cycle) pada masyarakat Muna hingga kini masih dilakukan oleh masyarakat pendukungnya, seperti kasambu, kangkilo (sunatan), katoba, karia, dan sebagainya.
Salah satu tradisi yang masih dipelihara, ditaati dan dipatuhi oleh masyarakat Muna yakni tradisi kasambu. Tradisi ini hingga sekarang masih ditaati, dipatuhi dan dilaksanakan oleh sebagaian masyarakat Muna, meskipun pada masa kekinian sudah mulai mengalami pergeseran, seperti penggunaan jasa sando pada saat melahirkan diganti oleh tenaga medis (bidan atau dokter). Namun demikian kasambu masih tetap dilakukan karena merupakan suatu tradisi yang tidak dapat ditinggalkan. Tradisi ini masih eksis dalam masyarakat Muna sebagai warisan budaya yang ditransmisi dari generasi ke generasi. Pelaksanaan upacara kasambu dimaksudkan agar orang tua dan anak selamat, serta terhindar dari ancaman malapetaka yang mungkin akan menimpanya. Khususnya bagi anak (bayi) yang masih berada di dalam kandungan dapat lahir dengan selamat.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

10 Kumpulan Jurnal Tengtang Suku Bugis, Tolaki Dan Muna

Kumpulan Video Agama Lokal (Bugis, Tolaki dan Muna)