makalah agama tradisional suku bugis
Agama Tradisional Suku Bugis
BAB II
AGAMA TRADISIONAL SUKU BUGIS
( Asal Usul, Mite; Adat Kebudayaan dan Kepercayaan, Ritus dan Hubungan Interaksi )
Guna untuk memenuhi tugas mata kuliah Agama-agama Lokal
disusun oleh :
ICANG : 11150321000067
Dosen Pembimbing : Sitti Nadroh, M. Ag
Kelas : 4/B Perbandingan Agama
FAKULTAS USHULUDDIN
PROGRAM STUDI PERBANDINGAN AGAMA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2017
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Wr. Wb.
Puji syukur kehadirat Allah SWT. atas segala limpahan Rahmat, Hidayah, Taufiq dan Inayahnya sehingga Alhamdulillah saya dapat menyelesaikan makalah ini yang membahas tentang “ Agama Tradisional Suku Bugis “, diajukan untuk memenuhi tugas kelompok pada mata kuliah Agama-agama Lokal. Makalah ini dapat digunakan sebagai wacana untuk menambah pengetahuan dan juga bisa menjadi acuan dalam menambah ilmu tentang berbagai hal mengenai kepercayaan tradisional Suku Bugis.
Kemudian, saya ucapkan terima kasih kepada dosen pengampu yang telah membantu sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik dan secara sederhana. Dan tidak lupa pula kepada teman-teman yang telah rela membantu mendiskusikan, guna dalam menyelesaikan makalah ini sebagaimana mestinya.
Dan menyadari bahwa makalah ini masih banyak kekurangan dari segala bentuk, maka dari itu saya mengharapkan kritik dan saran untuk menyempurnakan makalah selanjutnya. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca untuk menambah wawasan dan pengetahuan. Amiin...
Wassalamu’alaikum Wr. Wb.
Tangerang, 21 Maret 2017
Penyusun
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR 1
DAFTAR ISI 2
BAB I : PENDAHULUAN 3
A. Latar Belakang
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan penulisan
BAB II: PEMBAHASAN 4
A. Asal Usul Suku Bugis
B. Mite; Adat Kebudayaan dan Kepercayaan Lokal Suku Bugis
C. Ritus Dalam Suku Bugis
D. Interaksi Kepercayaan Suku Bugis Dengan Agama Lain
BAB III : PENUTUP 16
A. Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA 17
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Suku bugis adalah salah satu suku yang beromisili di Sulawesi Selatan. Ciri utama dari kelompok etnik ini adalah bahasa dan adat istiadat, sehingga pendatang Melayu dan Minangkabau yang merantau ke Sulawesi sejak abad ke-15 sebagai tenaga administrasi dan pedagang dikerajaan Gowa dan telah terkulturasi, sehingga dapat dikategorikan sebagai suku Bugis.
Di Indonesia, Suku Bugis di kenal persebarannya luas karena perantauannya. Di Indonesia, Suku Bugis terbanyak mendiami di Pulau Sulawesi. Indonesia dikenal sebagai negara yang mempunyai bahasa terbanyak, dimana terdiri atas 700 suku atau bahasa.
Namun dalam pembahasan kali ini, pemakalah hanya mengacu pada Suku Bugis, oleh karena nya untuk mengetahui lebih jelasnya, pemakalah dapat merumuskan hal apa saja yang terdapat dalam Suku Bugis.
B. Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah yang dapat saya sampaikan pada pembahasan kali ini, yakni meliputi:
1. Bagaimana Asal Usul Suku Bugis?
2. Bagaimana Mite, Adat Kebudayaan dan Kepercayaan Lokal Suku Bugis?
3. Bagaimana Ritus Dalam Suku Bugis?
4. Bagaimana Interaksi Kepercayaan Suku Bugis Dengan Agama-Agama lain?
C. Tujuan Makalah
1. Untuk Mengetahui Bagaimana Asal Usul Suku Bugis.
2. Untuk Mengetahui Bagaimana Mite, Adat Kebudayaan dan Kepercayaan Lokal Suku Bugis?
3. Untuk Mengetahui Bagaimana Ritus Dalam Suku Bugis?
4. Untuk Mengetahui Bagaimana Interaksi Kepercayaan Suku Bugis Dengan Agama-Agama lain?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Asal Usul Suku Bugis
Bugis adalah suku yang tergolong kedalam suku-suku Deutero Melayu, atau Melayu Muda. Masuk ke Nusantara setelah gelombang migrasi pertama dari daratan Asia, tepatnya Yunan.
Kata “Bugis” berasal dari kata “To Ugi”, yang berarti orang Bugis, penamaan Ugi merujuk pada Raja pertama kerajaan China yang terdapat di Pammana, Kabupaten Wajo saat ini, yaitu La Sattumpugi, ketika rakyat La Sattumpugi menamakan dirinya, maka mereka merujuk pada raja mereka. Mereka menjuluki dirinya sebagai “To Ugi” atau orang-orang atau pengikut La Sattumpugi.[1]
La Sattumpugi adalah ayah dari We Cudai dan bersaudara dengan Batara Lattu, ayahanda dari Sawerigading. Sawerigading sendiri adalah suami dari We Cudai dan melahirkan beberapa anak termasuk La Galigo yang membuat sastra terbesar di dunia dengan jumlah kurang lebih 9000 halaman folio. Sawerigading Opumnna Ware atau orang yang dipertua di Ware, adalah kisah yang tertuang dalam karya sastra I La Galigo dalam tradisi Masyarakat Bugis. Kisah Sawerigading juga dikenal dalam tradisi masyarakat Luwu, Kaili, Gorontalo dan beberapa tradisi lain di Sulawesi, seperti Buton.
Dalam perkembangan selanjutnya, komunitas ini mulai berkembang dan membentuk beberapa kerajaan lain dan kemudian membuat aksara, bahasa serta pemerintahan mereka sendiri. Beberapa kerajaan klasik yang terkenal adalah Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Suppa dan Sawwito atau Pinrang, dan Sidrap. Meskipun tersebar dan membentuk etnikBugis, tetapi proses pernikahan menyebabkan adanya pertalian darah dengan Makassar dan Mandar, hingga sampai saat ini orang Bugis tersebar dalam Kabupaten, seperti Luwu, Bone, Wajo, Soppeng, Sidrap, Sinjai, Pinrang, dan Barru.
Masyarakat Bugis tersebar di beberapa daratan rendah yang subur dan pesisir, maka kebanyakan dari masyarakat Bugis hidup sebagai petani dan nelayan, mata pencaharian lain masyarakat Bugis adalah pedagang, masyarakat bugis juga mengisi birokrasi pemerintahan dan menekuni bidang pendidikan. Pada abad 16, 17, 18, 19 masyarakat Bugis pernah menyebabkan konflik dengan Makassar, hingga menyebabkan tidak tenangnya daerah Bugis Sulawe Selatan. Hal ini menyebabkan banyaknya orang-orang Bugis yang bermigrasi terutama di daerah pesisir Nusantara bahkan sampai ke Malaysia, Filiphina, Thailand hingga sekitar Asia.[2] Konflik antara Bugis dan Makassar menyebabkan Suku Bugis melakukan perantauan, selai itu pada akhirnya perantauan Suku Bugis dijadikan sebagai salah satu Budaya dalam mendorong keinginan akan kemerdekaan karena kebahagiaan dalam tradisi Bugis hanya dapat diraih melalui kemerdekaan.
Suku Bugis adalah salah satu suku dengan pola penyebaran yang sangat tinggi dan masuk dalam kelompok Suku Melayu Deutero. Hampir dalam seluruh wilayah Indonesia dapat ditemukan perkampungan-perkampungan Bugis. Bahkan penyebaran Suku Bugis bukan hanya di Nusantara saja, melainkan sudah sampai ke sebagian wilayah di Asia seperti Malaysia, China, Brunai, Arab Saudi, Mesir dan di daerah-daerah sekitarnya.
Asal usul orang Bugis hingga saat ini masih belum jelas. Hal ini disebabkan oleh kurangnya bukti otentik baik berupa prasasti atau dokumen-dokumen sejarah yang dapat mendukung penelusuran sejarah orang Bugis. Adapun sumber yang mendukung hanyalah sumber tertulis setempat yang dapat diandalkan yang hanya berisi informasi abad ke 15 dan sesudahnya.
Akan tetapi, orang Bugis pada zaman dahulu menganggap nenek moyang mereka adalah pribumi yang telah didatangi titisan langsung dari “dunia atas” yang “turun” menurung atau dari “dunia bawah” yang “naik” tompo untuk membaa norma dan aturan sosial ke bumi.[3]
Menurut riayat kuno bahwa To Manurung pertama yang menginjakkan kakinya di daratan Sulawesi adalah Tamboro Langi’. Dia berdiri di puncak Gunung Latimojong bagian Selatan dan bagian Tengah yang masih kering. Tambo Langi’ kemudian menikah dengan Tande Bili, seorang dewi yang muncul dari sungai Saddang, dan mempunyai putra yang bernama Sandaboro dan selanjutnya melahirkan La Kipadada. Dan La Kipadada lah yang membangun tiga kerajaan besar, yaitu Rongkong (asal mula kerajaan Toraja), Luwu (asal mula kerajaan Bugis) dan Gowa (asal mula kerajaan Makassar).
B. Mite; Adat Kebudayaan Dan Kepercayaan Lokal
Suku Bugis dikenal dengan suku perantau yang tersebar ke beberapa wilayah di Indonesia. Suku Bugis merupakan suku yang sangat menjunjung tinggi harga diri dan martabat. Suku Bugis sangat menghindari tindakan-tindakan yang dapat membuat malu keluarga. Sehingga dalam tradisinya sangat menjunjung tinggi adat kebudayaanya yang selalu di lakukannya secara turun temurun.
1. Adat Kebudayaan:
1) Adat Kepribadian
Dalam tradisi budaya Suku Bugis, terdapat tiga hal yang dapat menggambarkan tendang budaya orang Bugis, yaitu konsep Ade’, Siri’, Na Pesse’ dan Simbolisme orang Bugis adalah Sarung Sutra.
a. Konsep Ade’. Dalam bahasa Indonesia “ Ade’ ” adalah adat istiadat. Bagi masyarakat Bugis, ada empat jenis adat, yaitu:
· Ade’ Maraja (yang dipakai dikalangan Raja atau para pemimpin)
· Ade’ Puraonro (adat yang sudah dipakai sejak lama di masyarakat secara turun temurun)
· Ade’ Assamaturukeng (peraturan yang ditentukan sesuai kesepakatan)
· Ade’ Abiasang (adat yang dipaai dari dulu sampai sekarang dan sudah diterapkan dalam masyarakat)
Menurut Lontara Bugis (catatan kuno mengenai Suku Bugis), terdapat empat prinsip dasar dari Ade’ yaitu Ade’ Bicara, Rapang, Wari, dan Sara. Konsep ini lebih dikenal sebagai “Pangngadereng”. Ade’ merupakan manifestasi sikap yang fleksibel terhadap berbagai jenis peraturan dalam masyarakat. Rapang lebih merujuk pada model tingkah laku yang baik, yang hendaknya diikuti oleh masyarakat. Sedangkan Wari adalah aturan mengenai keturunan danhirarki masyarakat. Dan Sara adalah aturan adat yang berbaur dengan Islam.
b. Konsep Siri’. Makna Siri’ dalam masyarakat Bugis sangat begitu berarti sehingga ada sebuah pepatah Bugis yang mengatakan “ Siri’ Paranreng, Nyawa Pa Lao “ yang berarti: “Apabila harga diri telah terkoyak, maka nyawalah bayarannya”. Begitu tinggi makna dari Siri’ itu, sehingga dalam masyarakat Bugis bahwa kehilangan harga diri seseorang hanya dapat dikembalikan dengan bayaran nyawa oleh si pihak lawan bahkan yang bersangkutan sekalipun. Namun adat istiadat tersebut sudah tidak dilakukan lagi, karena pengaruh budaya Islam yang masuk sejak tahun 1600-an. Siri’ memberikan prinsip yang tegas bagi tingkah laku orang Bugis.
Menurut pepatah orang Bugis, hanya orang yang punya Siri’ yang dianggap sebagai manusia. Bunyinya: Naia Tau De’ga Siri’na, De’ga Lainna Na Olo’kolo’e. Siri’e Mitu Tariaaseng Tau. Artinya: “barangsiapa yang tidak punya malu, maka dia bukanlah siapa-siapa, melainkan hanya seekor Binatang”.
c. Konsep Siri’ Na Pacce. Secara lafdziah, Siri’ mengandung gabungan kata Siri’ Na Pacce, berarti Siri’ (rasa malu/harga diri) dan Pacce (ikut/kebiasaan lama), jadi kata tersebut maknanya “orang yang berbuat sesuatu tanpa ada rasa malu (harga diri).
Dalam struktur masyrakat Bugis, Siri’ mempunyai empat kategori, yaitu:
· Siri’ Ripakasiri’, secara bahasa artinya “rasa malu yang dipermalukan”. Tetapi maknanya adalah rasa malu yang berhubungan dengan harga diri pribadi, serta harga diri atau harkat dan martabat keluarga. Malu (Siri’) jenis ini adalah sesuatu yang tabu dan pantang dilanggar karena taruhannya adalah nyawa.
· Siri’ Mappaasiri’siri’, secara bahasa artinya “rasa malu yang sangat memalukan”. Malu (Siri’) jenis ini berhubungan dengan etos kerja. Dalam Falsafah Bugis disebutkan, “Narekko De’gaga Siri’mu, Inrengko Siri”, Artinya “jika anda tidak mempunyai malu, maka pinjamlah kepada orang yang masih memiliki rasa malu”. Begitu pula sebaliknya, “Narekko Engka Siri’mu, Aja’ Mumappakasiri’siri’”. Artinya “jika anda punya malu, maka jangan membuat malu (memalukan).
· Siri’ Tappela’ Siri’, artinya rasa malu seseorang itu hilang (terusik) karena sesuatu hal “seseorang yang mempermalukan dirinya sendiri”. Artinya seseorang yang telah berjanji/membuat janji, harus menepati janjinya sebagai apa yang disepakati oleh kedua pihak.
· Siri’ Mate Siri’, artinya rasa malu yang berhubungan dengan Iman. Maknanya, orang yang didalam dirinya sudah tidak ada rasa malu (iman) sedikitpun. Orang seperti ini, diapakanpun tidak akan pernah merasa malu, atau orang Bugis menyebutnya “bangkai hidup yang hidup”.
2) Adat Pernikahan
Dalam sistem pernikahan adat Bugis terdapat perkainan Ideal:
a. Assialang Maola, ialah perkwinan antara saudara sepupu derajat kesatu, baik dari pihak ayah maupun ibu.
b. Assialanna Memang, ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat kedua, baik dari pihak ayah maupu ibu.
c. Ripaddeppe’ Abelae, ialah perkawinan antara saudara sepupu derajat ketiga, baik dari pihak ayah maupun ibu.
Adapun perkawinan-perkawinan yang dilarang dan dianggap sumbang (Salimara’): perkawinan antara anak dengan ibu/ayah, perkawinan antara saudara sekandung, perkawinan antara menantu dan mertua, perkawinan antara paman/bibi dengan kemenakan dan perkawinan antara kakek/nenek dengan cucu.
Bagi masyrakat Bugis, pernikahan diawali dengan proses melamar atau “Madduta”. Jika lamaran diterima, maka dilanjutkan dengan proses membawa uang lamaran dari pihak pria yang akan dipakai untuk acara pesta pernikahan oleh pihak wanita (Mappenre’ Dui). Pada saat mengantar uang lamaran, kemudian ditetapkan hari yang baik untuk acara pesta pernikahan yang merupakan kesepakatan dari kedua belah pihak. Sehari sebelum hari “H” berlangsung acara “malam pacar/mappacci” yang dilakukan di tempat masing-masing sebelum bertemu, dengan tujuan untuk menunggu keluarga atau kerabat untuk datang mengoleskan daun pacar ketangan penganting sambil diiringi doa-doa untuk kebahagiaan mereka. Dan pada hari “H” nya, kegiatan dilakukan dengan tradisi adat yang berlaku selama satu hari satu malam.
3) Rumah Adat
Dalam tradisi masyarakat Suku Bugis, Rumah Adat sudah menjadi suatu adat kebudayaan yang harus ada dalam setiap perumahannya. Rumah adat dijadikan sebagai suatu tradisi kebudayaan yang pasti ada disetiap daerah masyaraat Bugis, karena bagi masyarakat Bugis memandang rumah tidak hanya sekedar tempat tinggal tetapi juga sebagai tempat atau ruang pusat siklus kehidupan. Yakni tempat manusia dilahirkan, dibesarkan, dikawinkan, meninggal dan segala sesuatu perayaan lainnya. Oleh karenanya, membangun rumah haruslah didasarkan tradisi dan kepercayaan yang diwarisi secara turun temurun dari leluhur.
Rumah Bugis mempunyai keunikan tersendiri, dibandingkan dengan rumah panggung dari suku yang lain (Sumatera dan Kalimantan). Rumah Panggung Bugis mempunya struktur tersrndiri, dimana bentuknya memanjang kebelakang, dengan tambahan disamping bangunan utama dan bagian depan (Lego-lego). Tiang utama disebut Alliri yang terdiri atas 4 batang dalam setiap barisnya. Jumlahnya tergsntung jumlah ruang yang akan dibuat. Namun pada umunnya, terdiri dari ¾ baris tiang (alliri). Sehingga totalnya ada 12 batang tiang. Fadongko’, yaitu bagiang yang bertugas sebagai penyambung dari tiang-tiang tersebut. Fattoppo, yaitu bagian yang bertugas sebagai pengait paling atas dari tiang paling tengah tiap barisnya. Orang Bugis yang mempunyai rumah kolong (panggung), konon katanya orang Bugis, jauh sebelum Islam masuk ke tanah Bugis, orang Bugis telah memiliki kepercayaan baha alam semesta initerdiri atas 3 bagian, bagian atas (botting langi), bagian tengah (alang tangnga), dan bagian bawah (paratiwi). Dan itulah yang mengilhami mereka. Dan rumah panggung tersebut terbuat dari kayu-kayu yang telah dibentuk, rumah tersebut dengan panggung lepas-pasang guna supaya dapat dipindahkan dari saru tempat ke tempat yang lain.
Rumah tersebut terdiri atas 3 tingkat, tingkat atas (botting langi) digunakan untuk menyimpan padi dan benda-benda pusaka. Tingkat tengah (alang tangnga) digunakan sebagai tempat tinggal, terbagi atas ruang-ruang untuk menerima tamu, tidur, dan dapur. Tingkat dasar (paratiwi) digunakan untuk menyimpan alat-alat pertanian, kandang ternak dan lain sebagainya. Rumah tradisional Bugis dapat digolongkan berdasarkan status pemiliknya atau berdasarkan status sosial yang berlaku.
2. Sistem Kepercayaan Lokal
Sistem kepercayaan yang dimaksud adalah bayangan manusia terhadap berbagai perujudan yang berada diluar jangkauan akal dan pikiran manusia. Wujud-wujud tersebut tidak tidak terjangkau oleh akal dan pikiran sehingga perujudan tersebut harus dipercaya dan diterima sebagai dogma yang berpangkal kepada keyakinan dan kepercayaan. Bayangan dan gambaran tersebut antara lain tentang alam ghaib yang mencakup sejumlah perwujudan seperti dewa-dewa, makhluk halus, roh-roh dan sejumlah perwujudan lainnya yang mengandung kesaktian. [4]
Adapun sistem kepercayaan mereka, diantaranya adalah: Kepercayaan Towani Tolotang. Towani Tolotang mengandung arti “orang selatan”. Towani tolotang merupakan salah satu dikelurahan Amparita. Tolotang juga merupakan sebutan bagi agama mereka anut, kepercayaan Tolotang bersumber dari kepercayaan tentang Sawerigading, sebagaimana yang dipahami masyarakat Bugis pada umumnya.
Kepercayaan ini didirikan oleh La Panaungi karena mendapat wahyu dari Sawerigading untuk melanjutkan ajarannya dan melakukan pemujaan terhadap Dewata Sewwae. Kitab Suci dari ajaran ini adalah La Galigo. Kitab suci ini disimpan dan dilafalkan oleh pemimpin mereka yang disebut “Uwa”.
Mereka juga mempercayai adanya dewa-dewa disamping Dewata Sewwae (Tuhan Yang Maha Esa), To Rie A’ra’na (Yang Maha Berkehendak). Konsepsi Dewata Sewwae atau To Rie A’ra’ Na mengisyaratkan bahwa sebelum Islam masuk ke Sulawesi Selatan, konsep pemikiran tentang ketuhanan telah melembaga. Masyarakat Bugis telah menanam kepercayaan dalam diri mereka terhadap Dewata Sewwae sebagai Dewa Tunggal. Tidak terujud (De’ Watangna), tidak makan dan tidak minum, tidak diketahui tempatnya, tidak berayah dan tidak beribu, tetapi mempunyai banyak pembantu.[5]
Dalam masyarakat Towani Tolotang dikenal adanya pemimpin agama yang mereka sebut Uwa dan Uwatta yang sekaligus sebagai semacam kepala suku. Kelompok Uwa dan Uwatta menempati posisi tertinggi dalam sistem pelapisan sosial dikalangan masyarakat Towani Tolotang dan dijadikan sebagai perantara manusia dengan Dewata Sewwae.
Hal serupa dikemukakan pula Mattulada, bahwa religi orang Bugis pada masa pra-Islam seperti tergamar dalam kitab I La Galigo, sebenarnya sudah mengandung suatu kepercayaan kepada satu Dewa yang tunggal, yaitu disebut dengan beberapa nama, seperti: PatotoE (Dia penentu Nasib), Dewata Sewwae (Tuhan Yang Maha Esa), dan Tu Rie A’ra’na (Yang memiliki kehendak mutlak). Sisa-sisa kepercayaan tersebut masih tampak jelas hingga kini dibeberapa daerah, seperti Tolotang di Sidrap dan Kajang di Bulukumba.[6]
C. Ritus Dalam Suku Bugis
Kepercayaan animisme mengalami perkembangan sejalan dengan perkembangan masyarakat. Dalam ritual-ritual Suku Bugis, dilakukannya untuk para arwah nenek moyang mereka yang dinyatakan dalam bentuk pemujaan terhadap kuburan dan tempat-tempat tertentu. Pemujaan diberikan terhadap kuburan orang-orang yang berjasa pada masyarakat dahulu. Ritual seperti itu, berlanjut pada masa-masa pasca-Islam dan masih dapatditemukan dalam masyarakat Sulawesi Selatan, seperti Gowa, Sidrap dan sekitar Bulukumba sampai sekarang ini. Selain itu, mereka juga melaksakan pemujaan terhadap tempat dan benda-benda tertentu yang dianggap sakral, seperti Batu Naparak (batu datar), Pohon Kayu Besar, Gunung, Sungai dan Posi Butta/Bola (tiang tengah sebuah rumah).
Ritual-ritual yang berkaitan dengan kepercayaan pada kuburan, tempat dan benda-benda tertentu,dipimpin oleh seorang Pinati (untuk menjaga tempat-tempat sakral serta melayani upacara sesajen). Upacara sosial yang biasa dilakukan oleh masyarakat setelah panen disebut upacara Saukang/Maccera’. Tempat upacara biasa dilakukan di Posi Butta di Kayuara (jenis pohon kayu besar). Adapun dalam rumah tangga Bangsawan atau kepala-kepala adat, disimpan suatu benda sakral, seperti Keris, Kalewang dan Panji. Benda-benda itu disebut Pantasak dan merupakan simbol status keluarga dalam masyarakat.[7]
Berbagai ritual yang dilakukan untuk memohon dan menyembah para dewata-dewata tersebut. Ritual penyembahan Massompa antara lain disebut: Tulakbala, Massorong, Mappenre’, Mattoana’, Millau Bosi, Matteddu’ Arajang, Mappedaung Arajang, Manre Sipulung, Maddoja Bine, Mappalili, Mappalettu’ dan lain sebagainya. Ritual semacam itu dihadiri oleh sebagian komunitas atau masyarakat setempat.
Jumlah dewa-dewa orang Bugis pra-Islam sangat banyak, kebanyakan diantara para dewa menempati tempat-tempat yang dianggap keramat. Dewa-dewa tersebut datang pada tempat tersebut apabila diadakan upacara/ritual. Dewi padi (Sangiasseri) yang hidup diantara para kaum Tani akan datang pada upacara Mappalili atau Maddoja Bine.
Pranata-pranata keagamaan yang menghubungkan dengan sistem-sistem kepercayaan orang Bugis pra-Islam dapat kita lihat dari segi kepercayaan yang meliputi: Pammasareng, Dewata-dewata, Tau Tenrita, Barilaya, Makerre’, Lasa Namateng, Atuwong Lino Na Esso Rimonri, dan sebagainya. (Nyompa, 1992 : 40).[8]
D. Interaksi Kepercayaan Suku Bugis dengan Agama Lain
Dalam melangsungkan interaksi kepercayaan masyarakat Bugis dengan agama lain, khususnya seperti kepercayaan orang Toraja dan juga Islam. Interaksi antara Suku Bugis dengan Toraja, agama tidak menjadi penghambat mereka dalam hidup berdampingan. Menurut Kesuma (2012: xii) bahwa bukan lagi rumpun yang dijadikan parameter untuk menjalin hubungan, melainkan jenis produk dan prospek usaha yang menjadi ukuran utama. Dalam interaksi sosial masyarakat Bugis, tata krama dan sopan santun sangat diutamakan (Kesuma, 2012: 11), sehingga Suku Toraja merasa dihargai dan dihormati, sehingga mereka tetap nyaman melakukan interaksi walau berbeda.
Filsafat Bugis dalam (Kesuma, 2012: 98) bahwa “ Resopa Temmangingngi Naletei Pammase Dewata “, artinya “hanya dengan kerja keras yang dapat mendatangkan pertolongan dari Tuhan”. Dari Filsafat tersebut tercermin dari keuletan Suku Bugis dalam berwirausaha. Hal tersebut juga tercermin dalam keuletan orang Toraja.
Kesamaan keuletan antara Suku Bugis dengan Suku Toraja dalam kehidupan sehari-hari sehingga keduanya tetap melangsungkan interaksi dengan baik. Antara Suku Bugis dan Toraja mempunyai perbedaan dalam pekerjaan. Menurut Kesuma (2012: 5) bahwa Suku Bugis yang dikenal dengan jiwa Wirausahawa (pedagang) sedangkan Suku Toraja sebagai pengrajin sepatu, lebih cenderung pada bidang produksi sehingga perseingan tersebut melebur menjadi hubungan interaksi yang saling membutuhkan antara puhak produksi dan pedagang.
Sedangkan interaksi ain yang terjadi dalam Suku Bugis dengan Islam juga terjaling sama dengan Toraja tersebut. Dimana pada saat Islam masuk ke wilayah masyarakat Bugis, Suku Bugis menerimanya dengan damai, karena dalam ada istiadat tradisi Bugis yang di pegang kokoh adalah sangat menghormati tamu mereka atau pendatang baru. Dalam penjelasan lain, Suku Bugis menerima Islam karena adanya persamaan kepercayaan yang dianutnya dengan Islam, sehingga membuat mereka semakin yakin dan mencoba untuk menjalin hubungan atau mengislamkan dirinya tanpa harus menghilangkan tradisi mereka.
Pada mulanya, Interaksi orang Bugis dengan Islam hanyalah sebuah hubungan kekerabatan saja. Seiring dengan berjalannya waktu, Islam dan Bugis telah cukup membaur dalam kehidupan masyarakat Bugis, sehingga Islamisasi orang Bugis berlangsug secara damai dan menyebar luas dengan dimulai dari lapisan elit ke lapisan massa bawah. Ketika orang Bugis menyatakan dirinya sebagai Islam, berawal dari Raja mereka, karena orang Bugis mematuhi rajanya oleh sebab demikian mereka mengikuti apa yang dilakukan Raja. Meskipun pada saat ini mereka Islam, tetapi adat ritual mereka masih melekat dan masih diperaktekan sesuai dengan konsep Islam sampai sekarang.[9]
Jelasnya, bila Raja telah memeluk Islam, maka rakyat dipandang juga telah memeluk agama tersebut. Agama raja serta merta menjadi agama Negara. Alasan lain mengatakan bahwa interaksi Suku Bugis dengan Islam terjadi karena bagi Suku Bugis, agama merupakan unsur penting yang menentukan identitas suatu masyarakat. Oleh karena itu, diterimanya Islam sebagai agama orang Bugis yang merupakan suatu peristiwa yang sangat penting.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Asal usul Suku Bugis berawal dari bangsa suku-suku Deuto Melayu, yang masuk keNusantara melalui migrasi dari daratan Asia tepatnya Yunan.
Suku Bugis terbanyak mendiami daerah Sulawesi Selatan. Seperti suku-suku lainnya, Suku Bugis mempunyai tradisi adat yang dipegang teguhnya, seperti Adat Istiadat berbicara, perkawinan, budaya lokal dan sebagainya.
Suku Bugis mempunyai tradisi kepercayaan lokal yang dianutnya pertama kali, yakni Towoni Tolotang, yang berarti orang Selatan. Kepercayaan tersebut adalah kepercayaan terhadap Dewa-dewa, namun ada satu Dewa yang diagungkan sebagai Dewa Tunggal (Tuhan Yang Maha Esa), atau disebut penganut aliran Henoteisme.
Sebagaimana apa yang telah diuraikan, sampai saat ini keberagamaan dan kepercayaan orang Bugis yang identik dengan Islam masih sarat dengan praktek singkreatisme antara ajaran Islam dan pra-Islam.
Dalam tradisi ritual suku Bugis merupakan pencampur adukan dengan ajaran Islam, sehingga dengan dasar tersebut, dalam ritual tradisi keberagamaan orang Bugis merupakan campuran dari unsur-unsur Islam dan pra-Islam. Adapun proporsi unsur tersebut dalam ritual yang satu berbeda dengan ritual lainnya karena tidak ada standar baku yang mengaturnya. Setiap Sandro (dukun), setiap orang melakukan ritus tertentu, mendasarkan praktek mereka menurut tata cara yang diciptakan sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Koentjaraningrat. 1997. Beberapa Pokok Antropologi Sosial. Jakarta: Dian Rakyat.
Fadillah, Moh. Ali dan Ian Sumantri (ed). 2000. Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi. Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin atas kerja sama dengan Institut Etnografi Indonesia.
Yunus, Ahmad. 1991-1992. Lontarak Pangissengeng Daerah Sulawesi Selatan. jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan.
Nyompa, Johan. 1992. Mula Tau (satu studi tentang Mitologi orang Bugis). Makassar: Universitas Hasanuddin.
Faisal, Ahmad, 2004, Agama Sebagai Konsep Sosial Towani Tolotang di Kabupaten Sidrap, Program Pasca Universitas Negeri Makassar, Tesis.
Kesuma, Andi Ima. 2004. Migrasi Dan Orang Bugis. Yogyakarta: Ombak
Dg. Patunru, Abdurazak. 1967. Sejarah Gowa. Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara.
Jurnal Al-Umum. 2012. RELIGIUSITAS DAN KEPERCAYAAN MASYARAKAT BUGIS-MAKASSAR. Yogyakarta: Mustaqim Pabbajah CRCS Universitas Gadjah Mada.
http://id.wikepedia.org/ diakses pada: Sabtu 1 Maret 2017, pukul 16:30 WIB.
http://rezkirasyak.blogspot.co.id/2012/04/sejarah-asal-mula-bugis--history-of.html?=1 (Artikel Rezki Rasyak: History Bugis) diakses pada: Sabtu 18 Maret 2017, pukul 16:30 WIB.
http://southsulawesiarticles.blogspot.com/2012/09/bugis-sejarah-yang-belum-terungkap.html?=1 (Jurnal Perlas-The Bugis, 2006) diakses pada: Sabtu 18 Maret 2017, pukul 17:00 WIB.
[2] Artikel Rezki Rasyak. http://rezkirasyak.blogspot.co.id/2012/04/sejarah-asal-mula-bugis--history-of.html?=1 diakses pada: Sabtu 18 Maret 2017, pukul 16:30 WIB
[3] Perlas-The Bugis, 2006 (http://southsulawesiarticles.blogspot.com/2012/09/bugis-sejarah-yang-belum-terungkap.html?=1) diakses pada: Sabtu 18 Maret 2017, pukul 17:00 WIB
[4] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1997), h. 229-230
[5] Moh. Ali Fadillah, dan Ian Sumantri (ed). Kedatuan Luwu: Perspektif Arkeologi, Sejarah dan Antropologi. (Makassar: Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin atas kerja sama dengan Institut Etnografi Indonesia, 2000), h. 117.
[6] Koentjaraningrat, Beberapa Pokok Antropologi Sosial, (Jakarta: Dian Rakyat, 1995), h. 278
[7] Ahmad Yunus, Lontarak Pangissengeng Daerah Sulawesi Selatan, (jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, 1991-1992), h. 28
[8] Johan Nyompa, Mula Tau (satu studi tentang Mitologi orang Bugis), (Makassar: Universitas Hasanuddin, 1992), h. 40
[9] Abdurazak Dg. Patunru, Sejarah Gowa, (Makassar: Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara, 1967), h. 22
Komentar
Posting Komentar